Senin, 13 Agustus 2012

Resensi Buku PETITAH


Resensi Buku_Petitah
oleh An Maharani Bluepen*

Judul               : PETITAH: Perjalanan Menuju Awal
Jenis buku       : Religi
Penulis            : Agus Faizal
Penerbit           : Hasfa Publishing
Tahun              : 2012

Dalam setahun, Alloh Menyisipkan bulan Ramadhan sebagai bulan penuh cinta dan kebaikan. Pesonanya tak akan pernah pudar bagi orang-orang beriman. Bahkan, semangat Ramadhan senantiasa terpatri dalam sebelas bulan berikutnya. Perjalanan mengisi Ramadhan dengan penuh kecintaan merupakan salah satu kunci untuk meraih ketakwaan di hadapan-Nya.

Petitah sebagai hantaran baru dari Agus Faizal, memberikan deskripsi perjalanan cinta di bulan suci. Dengan aneka majas dan tata bahasa campuran, penulis mampu mengajak emosional pembaca serta mengobservasi fenomena Ramadhan yang sering terjadi. Di balik deretan kisah tiga puluh hari meraih cinta-Nya, terdapat sisi hikmah yang manis. Ada sisi renungan, atau sedikit guyonan segar yang disajikan penulis. Tak hanya itu, setiap cerita memiliki buah harapan dan doa yang menyalurkan energi semangat tanpa jeda. Sudut mengenai perbedaan persepsi dikemas dengan bahasa lugas meski tak beraturan.

Buku ini juga mengisyaratkan bahwa Ramadhan bukanlah terminal akhir dalam menuju ketakwaan melainkan perjalanan awal untuk membentuk pribadi hasil metamorfosis Ramadhan. Bulan Ramadhan adalah pemahaman pada seluruh bagian jiwa raga kehidupan, personal, dan sosial di ruang dan waktu. Semakin merayapinya, semakin menjadi sebuah inspirasi. Di sini, kebaikan-kebaikan di bulan Ramadhan tak mudah terlepas meski Ramadhan telah berakhir.

Dari mana seorang insan bisa memulai perjalanan meraih cinta-Nya? Alangkah baiknya jika Anda sendiri memahami buku ini sampai tuntas. Buku yang berisi tak sekedar prosa picisan melainkan catatan kecil yang bisa menjadi inspirasi tiap orang untuk menghargai waktu Ramadhan. Buku petitah hadir di toko buku Gramedia dan toko buku lainnya. Untuk pemesanan, bisa hubungi penerbit langsung di: 081914032201. Ok. Semangat membaca buku tanpa henti :D

"Waktu tak pernah siuman,kecuali disadarkan adalah kenisbian yang mengada..."
-Hantaran # 3 Petitah-


Sabtu, 11 Agustus 2012

Three Musketers


THREE MUSKETERS
By Fidianna


Tiga tahun ini kami bertiga melalui hari-hari tanpa suami dan ayah.
Berat? Tidak juga sebenarnya. Mungkin sebenarnya berat tapi aku dan anak-anakku melaluinya dengan hati lapang. Mereka berdua, Hasan dan Fatimah yang berusia enam dan empat tahun can entertain themselves, sama mudahnya dengan diriku. Hidup dibawa enjoy dan have fun.
Kantor konsultan arsitek dan kontraktor yang dulu kurintis dengan almarhum suami terpaksa kutinggalkan karena aku dan kedua anakku ditarik pulang ke rumah ibu. Sejak itulah perjalanan terasa agak berat. Tinggal di kota kecil, tidak memungkinkan karir arsitekku berkembang.
Dua tahun pertama aku memaksakan diri untuk tetap berkutat di bidangku, membuka lahan property baru di Semarang bersama kawan dan tim. Waktuku tersita banyak di perjalanan dan juga pekerjaan. Kadang –kadang jika sedang tidak punya pembantu, aku terpaksa menitipkan mereka ke rumah bulikku, karena ibuku sendiri juga masih aktif bekerja sebagai PNS. Beliau berangkat pagi-pagi sekali sekitar jam enam dan pulang jam enam sore karena kantornya berada di luar kota.
Kasihan sekali anak-anakku. Bahkan waktu kami masih tinggal di Semarang, kami bertiga seperti three musketeers karena selalu bepergian bertiga sejak ayah mereka wafat dalam kecelakaan lalu lintas.  Tapi sejak tinggal di Demak dan aku harus nglajo kerja ke Semarang, tak pernah lagi kami punya waktu jalan-jalan. Lama kelamaan, aku berpikir jika aku terus memaksa untuk nglajo ke Semarang, kasihan anak-anakku yang hanya mendapatiku pulang dalam keadaan letih dan karenanya mudah marah.
Akhirnya kuputuskan resign dan mengisi kekosongan waktu dengan menulis. Hobi lamaku yang tumbuh kembali dan akhirnya malah merajai hari-hariku.
Mencintai buku sejak masih balita-sebab ayahku selalu membawakan banyak buku dan bacaan ke rumah- ternyata tak pernah pupus. Menulis diary seperti yang diajarkan ayahku sejak aku duduk di kelas 1 SD- ternyata menjadi ajang pembelajaranku untuk menulis hal-hal lainnya di kemudian hari. Bakat menulisku ini ditemukan pertamakalinya oleh guru bahasaku di SD, beliau mendorongku untuk mengikuti berbagai lomba resensi dan lomba menulis. Guru Bahasaku di SMP dan SMA juga demikian.  Hanya saja karena salah kaprah pada masa itu, hanya perkuliahan eksakta saja yang dianggap keren, kemudian aku memilih teknik arsitektur sebagai pilihan studiku. Yang aneh tapi nyata, aku kadang membawa sekeranjang buku-buku bacaanku (diluar bacaan arsitektur) ke kampus seperti perpustakaan keliling. Aku juga gemar sekali datang ke pameran dan bazaar buku serta menghabiskan banyak rupiah di sana.
Dan ternyata  takdir berbicara, Pertama kali memenangkan lomba menulis pada event ulang tahun sebuah penerbit. Buku Titik Balik yang keren dan inspiratif menempatkanku di peringkat dua. Menang lagi saat menulis slogan untuk imprint penerbit bagi pembaca kalangan remaja. Ketika menang kembali untuk audisi penulis Crazmo, adik laki-lakiku menantangku.
“Ayo,mbak. Ikut lomba lagi. Yang ketiga menang lagi supaya bisa triple”, selorohnya dengan tertawa khasnya. Seperti tertantang, aku jadi semakin tak pernah melewatkan event dan lomba.
Dan Alhamdulillah, buku Setan 911 bahkan menempatkan namaku di cover depannya. Adik iparku kini yang berseloroh, “DianNafi siapa tuh? Arsitek nyasar ke sastra”. Begitulah. Dan aku menerimanya dengan senang hati. Apalagi kemudian kuketahui melalui facebook, ada beberapa arsitek juga yang suka menulis note, cerpen dan juga puisi. Aku tidak sendirian.
Beberapa kali memenangkan lomba menulis, tak terasa aku sudah memiliki 17 buku antologi. Alhamdulillah wa syukurillah. Sebuah pencapaian-bahkan bukan di bidangku sesungguhnya- yang sangat mengejutkan bagiku dan teman serta saudaraku.
Menulis ternyata tak hanya menjadi sarana exhausting atau pelepasan karena  mengeluarkan rasa, duka dan juga luka. Namun juga membangkitkan energi positif yang tidak hanya membangun dan mengembangkan diri, namun juga menginpirasi orang lain bahkan banyak orang.
Ketika kemudian aku mendapat karuniaNya dengan sebuah kesempatan menulis novel dengan seorang sahabat maya, sebuah cita-cita lama kembali muncul. Semenjak SMP sampai dengan lulus kuliah, aku selalu ingin punya toko buku. Sederhana saja alasannya,  karena dengan memiliki toko buku, aku bisa membaca buku dengan gratis. Cita-citaku ini belakangan bergeser dari sekedar ingin memiliki toko buku menjadi ingin mewujud sebagai penerbit. Utamanya adalah menerbitkan karya-karya sendiri. Jika kemudian, ada banyak karya penulis lain yang kami terbitkan, itu semata-mata anugerah dan karuniaNya.
            Aku mengerjakan semuanya dari rumah  sambil bermain bersama anak-anakku. Hal yang tak terbayangkan sebelumnya. Meski kemudian dengan beban baru ini aku menjadi semakin sibuk, tetapi aku lega karena masih bisa berkarya tanpa harus jauh meninggalkan rumah. Mereka juga semakin faham jika aku harus berbagi waktu dan perhatian agar tugas menjadi ibu dan juga ‘ayah’ yang mencari nafkah ini harus berjalan seimbang. Bahkan mereka juga membuat buku mereka sendiri karena mungkin terinspirasi dari aktifitas yang aku lakukan setengah tahun belakangan ini.
Si sulung membuat gambar-gambar komik dalam buku tulis kosong yang disertai dialog dan cerita serta narasi singkat. Dan si bungsu juga membuat gambar sederhana dengan tulisan huruf-huruf yang ia tahu meski kadang tak terbaca. Terkadang ia meminta tolong aku atau kakaknya untuk menuliskan kalimat-kalimat yang ia diktekan. Genitnya, kadang-kadang si bungsu menggodaku,
“Mau ditandatangani mbak bukunya?”, tanyanya sambil berpura-pura hendak menandatangani bukunya seolah-olah dia seorang penulis ternama yang bertemu penggemarnya. Alamaaaak…anakkuuuu…..

            Bagian terbaiknya adalah  three musketeers ini kembali beraksi karena memiliki lebih banyak waktu untuk bersama –sama. We’re happy and that’s more than everything we need. 

Tentang Asma Nadia


SHE’S MORE THAN I TOUGH

Menyelesaikan sebuah novel ternyata bukan hal yang mudah. Aku hampir saja menyerah.  Ramadlan sudah memasuki sepuluh hari terakhir dan aku masih termangu –mangu tidak tahu bagaimana kelanjutan novelku.
Tiba-tiba aku bagai terseret pusaran menakutkan.
“Aku memang bukan penulis!”, teriakku di kedalaman hati, tapi masih dengan serpihan ragu. Hatiku memanggil, ini jalanku. Pikiranku yang lain membisikkan ‘kamu kan arsitek, please deh’.
Oh , okey. Mungkin aku memang harus istirahat untuk menenangkan kalut batinku yang bergejolak dan berperang. Tapi aku tetap aku, yang penasaran jika belum segera menyelesaikan sesuatu yang sudah kumulai. Membuka rak buku dengan maksud mencari inspirasi di antara deadlock yang menyesakkan dada, aku menemukan tulisan Asma Nadia di kumpulan cerpennya terbitan Mizan 2001. Wow! Subhanallah. Kok bisa pas banget? Novelku berkisah tentang kisah cinta di dunia maya dan kumcer Asma Nadia ini berjudul Dialog Dua Layar.
Bermula dari membaca cerpen itulah aku kemudian sadar, ternyata ‘she’s more than I tough’. Dia lebih dari yang kusangka. Kisah persahabatan maya antara Widya muslimah taat dan Mark yang atheis dalam cerita itu, menyiratkan semangat toleransi penulisnya yang tinggi. Meskipun pada awalnya kupikir Asma Nadia berada dalam atau bersama kalangan islam inklusif, ternyata dia berpikiran lebih luas, tidak menyekat dirinya, terbuka dan toleran. Tokoh Widya yang akhirnya bersuami, dan tetap menjalin persahabatan dengan Mark, membuka mataku bahwa tidak ada yang salah dalam persahabatan. Karena aku yang mengaku toleran saja, seringkali menganggap pertemanan terlalu dekat dengan lawan jenis  harus dihindari karena mengkhawatirkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Meski  niat awalku mencari inspirasi bagi kelanjutan novelku belum kuperoleh langsung begitu saja setelah membaca kumcer itu, tapi kurasakan serapan energi dan serangkaian motivasi inspirasi dalam langkah kehidupanku. Aku jadi lebih sering melirik Asma Nadia, meski sudah lama menjadi fans page-nya dan juga ada di friendlist nya.
She’s more than I tough.  Tidak saja mengobarkan apiku untuk melanjutkan penaku menari-nari, tetapi juga menyiramkan bensin bagi mimpiku yang baru.  Self publishing.  Asma Nadia Publishing House yang dikembangkannya sendiri menjadi inspirasi bagiku untuk akhirnya mantap mewujudkan mimpi yang lama terpendam. Kecintaanku pada buku dan keterpaksaan dalam jepitan ekonomi yang mengharuskanku bergerak maju.
Leutika-lah sebenarnya yang menemukan (kembali) bakatku   dalam menulis. Karena itu, pada mulanya aku ragu untuk  menerbitkan sendiri meskipun aku sudah memimpikannya sejak lama. Tapi aku belajar dari Asma Nadia, dia merintis ANPH (Asma Nadia Publishing House) setelah lama bergabung dengan Lingkar Pena Publishing House (yang kini dipegang Helvy Tiana Rosa-kakaknya yang juga penulis). Aku membacanya seperti ini,  merintis usaha sendiri bukanlah pengkhianatan. Ini adalah eskalasi, pengembangan.Pernah dengar ini kan? Orang sukses adalah yang melahirkan dan membantu kelahiran orang-orang sukses baru.
            She’s more than I tough. Berasal dari keluarga yang sangat sederhana, kakak beradik penulis ini kini juga telah melahirkan keluarga penulis. Subhanallah. Kiprahnya bahkan lintas negara, memantapkan langkahku untuk melakukan lompatan ini. Menyediakan waktuku lebih banyak untuk menulis dan menerbitkan buku dibanding aktifitasku sebelumnya sebagai arsitek.
Aneh kan? Iya, pada mulanya aku ragu juga. Namun cinta..cinta..apa saja untuk cinta. Aku mencintai dunia baru ini. Semoga berkah, aamiin.
                                                                        ***
            “Jadi gimana Fin?”, tanya partner menulisku. Aku sedang di Gramedia, dan dia di seberang telpon memberikanku beberapa referensi buku untuk kubaca.
“Hmm…gimana ya? Aku lebih suka Negeri 5 Menara dan Muhammad Lelaki Penggenggam Hujan”, aku menimbang – nimbang dan akhirnya mengambil pilihan.
“Kamu sukanya baca yang gitu-gitu sih…”, suaranya kelihatan tidak suka.
Dia lebih suka aku baca bacaan yang ‘menyerempet bahaya’, dia bilang bagus karena alurnya tidak linier meskipun aku melihatnya sebagai bacaan yang bisa merusak otak dan kepribadian.
Aku jadi teringat Asma Nadia. Dia memang sosok yang patut dicontoh. Dia tidak hanya menulis tetapi juga berdakwah. Dan istiqomah. Satu hal yang tidak mudah karena ada banyak bujukan dan pengaruh di luar sana yang bisa menggerus kekokohan diri. Seringkali keinginan bisa bebas dan bisa diterima semua kalangan akhirnya menjadikan diri permisif dan kurang filter. Dan Asma Nadia menunjukkan jati dirinya dengan ‘gentle’ dan anggun. Dan dia tetap eksis bahkan semakin berkibar.
“Kamu serap cara penulisannya saja yang tidak linier, Fin”, partner menulisku sepertinya membaca pikiranku.
“Kalau sudah mahir, kamu bisa menulis apa saja. Dengan misi-misi dakwah juga, tetapi dengan cara penulisan yang memukau dan tidak biasa. Sehingga ada sesuatu yang bisa ditawarkan lebih dari penulis lainnya”, sambungnya.
Hmmm…boleh juga idenya.
Anyway, kapan-kapan aku akan mencari tulisan Asma Nadia yang tidak linier dan mau kutunjukkan ke partner menulisku, nih lihat, penulis muslimah juga bisa dengan muatan yang tetap terjamin mutunya. Aku yakin dia punya.
Karena she’s more than I tough. Tidak hanya seorang penulis, Asma Nadia telah menginspirasi banyak orang dengan tulisan dan kiprahnya. Beberapa bukunya bahkan sudah disadur ke dalam film layar lebar. Prestasi yang luar biasa dan semakin membuatku membara dalam dunia kepenulisan dan penerbitan.