Di saat membaca sebuah karya tulis, kadang karya tulis tersebut melekat kuat dalam ingatan kita sebagai pembaca, tak jarang karena kuatnya ide sentral yang dibawakannya. Pun, di saat kita menulis, terutama cerita, baik cerpen atau novel, ada satu ‘tema besar’ yang kita bawakan dalam cerita itu. Tema besar tersebut menjadi sebuah ide pokok, yang nantinya bisa dikembangkan sehingga menjadi satu cerita yang utuh. Tema besar itu bisa juga disebut premis. Sebelum memulai menulis, ada baiknya jika kita mencoba untuk membayangkan sebuah premis yang ingin kita sampaikan dalam cerita. Menentukan premis sebelum menulis bisa membantu kita untuk memberikan gambaran atau bayangan kemana cerita itu akan kita tuliskan. Premis itu bisa kita kembangkan lagi ke dalam subpremis.
Misalnya, dalam salah satu novel sastra karya Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung, premisnya atau tema besarnya adalah ‘Menghadapi ketakutan.’ Dari awal hingga akhir cerita, hal tersebut menjadi ide sentral dari jalan cerita. Bagaimana seorang guru, Guru Isa, selalu merasa ketakutan karena hidup di zaman penjajahan. Ketakutan itu, menjadi tema besarnya. Dan untuk ‘membumbui’ tulisan tersebut, tema ketakutan itu diperluas lagi menjadi subpremis-subpremis, seperti pergolakan batinnya sendiri, masalah yang dihadapinya dalam rumah tangganya, ketakutan akan ditangkap oleh penjajah, keinginan untuk pergi dari rumah, dan seterusnya. Namun, semua subpremis itu tetap ada dalam satu benang merah: yakni bagaimana Guru Isa menghadapi ketakutannya tersebut.
Contoh lain untuk cerpen, adalah cerita pendek yang terkenal, Robohnya Surau Kami, karangan A. A. Navis. Membaca cerpen ini, kita bisa menangkap garis besar yang ingin disampaikan penulis, yakni pentingnyahabluminannas, pentingnya hubungan antar-sesama manusia. Premis tersebut kemudian dikembangkan menjadi subpremis seperti terlalu sibuk beribadah tanpa mempedulikan lingkungan sekitar, dialog dengan Tuhan, matinya sang penjaga surau karena bunuh diri, dan seterusnya. Subpremis tersebut adalah bumbu yang memperkuat premis di atas.
Sebagai penulis yang baik, kita bisa mencoba untuk memikirkan premis kita terlebih dahulu, mencoba untuk menyampaikan hal yang menjadi ide sentral dalam tulisan kita. Salah satu keuntungan bagi penulis yang memiliki premis sejak awal, yakni membuat tulisan tersebut menjadi sangat ‘kuat’ dalam tema, tidak terkesan sembarangan, dan ceritanya tak mengarah ke subtopik yang tak ada hubungannya. Dengan begitu, tulisan akan lebih terarah, dan juga konsisten dari awal hingga akhirnya. Dalam novel Harry Potter yang terkenal itu pun, mempunyai satu premis besar, yakni ‘Bertahan Hidup’. Premis tersebut, adalah acuan yang membuat novel tersebut konsisten menceritakan tentang pengalaman Harry Potter bertahan hidup dari buku satu hingga tujuh. Berbagai kejadian lain yang Harry Potter alami, seperti kehilangan orangtua, berhadapan dengan musuh-musuhnya, dan seterusnya, tak lain hanya pengembangan dari premis ‘Bertahan hidup’ tersebut.
Disadari atau tidak, setiap penulis yang baik akan berusaha membawa premis tertentu dalam karyanya. Premis tersebut, bisa kita tangkap secara jelas, karena langsung tertuliskan, bisa juga terasa samar, karena tak diungkapkan terang-terangan. Namun alangkah baiknya, kita juga sebagai pembaca yang baik, tak hanya membaca secara sepintas, namun berusaha menangkap apa tema besar yang ingin disampaikan oleh penulis. Sehingga kita bisa menjadi pembaca yang baik, yang bisa mendapatkan ‘sesuatu’ dari apa yang dibaca, tidak begitu saja menguap dan menghilang begitu selesai membaca.
sumber : juzzythinks/wordpress