Sabtu, 26 Maret 2011

MEMBACA RINDU KWEK LINA

MEMBACA RINDU KWEK LINA (Dimuat di Malang Pos, Minggu, 26 September 2010)
by Faradina Izdhihary on Sunday, September 26, 2010 at 1:26pm

RESENSI BUKU ANTOLOGI PUISI KARYA KWEK lLNA: BUNGA RINDU DI SANDARAN BINTANG





Baru membaca judul antologi puisi “Rindu di Sandaran Bintang” karya Kwek Lina (atau akrab disapa A Ling), kita pastu sudah terbawa imajinasi tentang rindu dan perasaan-perasaan indah yang dipancarkan dari pilihan kata bintang. Dugaan ini ternyata sama sekali tidak meleset. Tapi jangan salah, antologi puisi ini tidak saja berbicara soal rindu antara Adam-Hawa, namun juga kerinduan pada tanah air dan pada Tuhan.



Ada baiknya kita kenal lebih dekat siapa A Ling agar dapat membaca dan memahami puisi-puisinya yang memikat.

A Ling lahir di Semitau ( lebih tepatnya desa Nanga Seberuang Muara Sungai Sejiram), Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Indonesia. Selepas lulus kuliah di Akademi Bahasa Asing di Pontianak, ia memutuskan menjadi TKI, tepatnya sebagai pembuat pola baju di sebuah perusahaan garmen. Selanjutnya ia memutuskan menikah dengan orang Taiwan dan bermukim di Taiwan hingga kini. Enam tahun tinggal di Taiwan membuatnya selalu merindukan tanah air. Untunglah kerinduannya untuk pulang dan berbincang-bincang dalam bahasa Indonesia terobati dengan adanya Friendster, Yahoo Maseenger, blog, hingga khirnya nasib menautkannya di Facebook (FB). Di FB ini dia semakin instens menulis hingga kahirnya Kurniawan Junaedhi (KJ), seorang cerpenis dan penyair senior, mengajaknya bergabung dengan 9 penyair FB lainnya untuk menerbitkan antologi puisi Merah Yang Meremah (MY). Sukses dengan MYM, KJ kemudian merangkul 9 penyair perempuan ini dalam antologi kedua mereka yang berjudul Perempuan dalam Sajak )(PdS) yang juga sukses. Kesuksean MYM dan PdS serta dukungan serta permintaan teman-teman dan orang-orang terdekat mendorong A Ling untuk menerbitkan antologi tunggalnya yang berjudul : Rindu di Sandaran Bintang.



Membicarakan kerinduan, tentu takkan lepas dari perasaan cinta, cemburu, kenangan, dan pujian. Demikian pula yang ditlus A Ling dalam puisi-puisi beraliran romantis. Lihat saja pada puisi Irama Rindu berikut ini. angin dan daun bambu bersetubuh//melantun rindu alam// di sunyi musim bunga. Puisi singkat ini mampu memotret rasa rindu yang digambarkan sebagai angin dan bamboo yang bersetubuh, pasti menghasilkan derit yang menyayat hati. Karena memang demikianlah kodrat rindu itu. Meskipun demikian rasa perih itu juga menumbuhkan keindahan (musim bunga) di hati yang mengalami rindu.



Pada saat seseorang merindukan sosok yang dirindukannya, maka ia akan mudah sekali untuk menghadirkan sosok tersebut dalam permenungannya, dalam lamunannya. A Ling menggambarkan perasaan ini dalam puisinya Mencium Harummu . Berikut adalah penggalan puisi tersebut: aku mencium harumMU//, pada gerimis yang jatuh// rasa ini seperti tarian hujan yang matanya girang// laksana air langit yang diluruhkan, karena kerinduannya akan bumi

hadirnya,// tak pernah mampu kita pinta lebih atau tahan tuk dikurang// kedatangannya mengkantongi misi untuk semesta// tanpa ragu// kutengadahkan wajah, kurentangkan kedua tangan// tuk nikmati rintikNYA, yang mulai berjatuhan. Berbeda dengan sebagian besar isi puisinya yang berisi kerinduan sosok anak Adam pada lawan jenisnya, pengalan puisi Mencium Harum-Mu merupakan satu di antara sedikit puisi kerinduan A Ling pada Tuhan. Meski tetap dengan diksi yang indah-indah, kaya metaphor yang cantik, puisi kerinduan A Ling pada Tuhan juga cukup memikat.



Rindu A Ling Lainnya adalah rindu pada tanah airnya, Indonesia. Hal ini antara lain tergambar dalam puisinya Rindu Terukir di Peta Kehidupan. Berikut petikannya. jarak tak bertuan// waktu tak mau berkawan//kemiskinan jangan kita tangisi. // Lawan!// hingga raga kita terpisah lautan// Indonesia-Taiwan// rindu kita terukir di atas peta kehidupan. Puisi ini tidak hanya menggambarkan kerinduan A Ling secara pribadi pada Indonesia, namun lebih ditujukan pada keriunduan TKI di Taiwan yang terpaksa meninggalkan tanah air untuk mempertahankan hidupnya.



Tiga arah kerinduan yang dibidik A Ling dalam puisi-puisinya menunjukkan bahwa selain seorang penyair yang romantis, ternyata A Ling tetaplah seorang patriotis yang mencintai tanah airnya, dan juga memiliki rasa emphati yang tinggi.



Seperti umumnya orang yang merindu, A Ling juga menulis puisi tentang kejenuhan seorang perindu menunggu kekasihnya. Perasaan ini digambarkan A Ling dengan cukup memikat dalam puisinya Pesan di Ruang Tunggu Kereta//. Andai cintamu sudah bukan untukku, bilang terus terang.// JanganMembisu// Tak perlu membuang waktuku, menunggumu di stasiun rindu// dan biarkan ragaku pergi dari sini, tanpamu //Menuju tempat yang seharusnya kutuju. // Dan membutuhkanku.



A Ling juga menggambarkan perasaan cemburunya dalam puisi singkat Api Cemburu. //api cemburu

Berkobar// meliuk// melahap semua// luka bakar// di sekujur tubuh cintanya// kini// tinggal puing//

tinggal arang// : dalam kenang//. Dalam puisi tersebut secara mengejutkan A Ling menuliskan bahwa cemburu bisa membakar rasa cinta.



Demikianlah pembacaan singkat saya akan puisi-puisi rindu Kwek Lina. Pembaca akan diajak membuai perasaan, berayun-ayun dalam permainan kata-kata yang akan membawa Anda merasa lebih muda, bersemangat, bahkan bisa jadi perasaan romantisme Anda pada pasangan akan lebih terang benderang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar