SHE’S
MORE THAN I TOUGH
Menyelesaikan
sebuah novel ternyata bukan hal yang mudah. Aku hampir saja menyerah. Ramadlan sudah memasuki sepuluh hari terakhir
dan aku masih termangu –mangu tidak tahu bagaimana kelanjutan novelku.
Tiba-tiba
aku bagai terseret pusaran menakutkan.
“Aku
memang bukan penulis!”, teriakku di kedalaman hati, tapi masih dengan serpihan
ragu. Hatiku memanggil, ini jalanku. Pikiranku yang lain membisikkan ‘kamu kan
arsitek, please deh’.
Oh
, okey. Mungkin aku memang harus istirahat untuk menenangkan kalut batinku yang
bergejolak dan berperang. Tapi aku tetap aku, yang penasaran jika belum segera
menyelesaikan sesuatu yang sudah kumulai. Membuka rak buku dengan maksud
mencari inspirasi di antara deadlock yang menyesakkan dada, aku menemukan
tulisan Asma Nadia di kumpulan cerpennya terbitan Mizan 2001. Wow! Subhanallah.
Kok bisa pas banget? Novelku berkisah tentang kisah cinta di dunia maya dan
kumcer Asma Nadia ini berjudul Dialog Dua Layar.
Bermula
dari membaca cerpen itulah aku kemudian sadar, ternyata ‘she’s more than I
tough’. Dia lebih dari yang kusangka. Kisah persahabatan maya antara Widya
muslimah taat dan Mark yang atheis dalam cerita itu, menyiratkan semangat
toleransi penulisnya yang tinggi. Meskipun pada awalnya kupikir Asma Nadia
berada dalam atau bersama kalangan islam inklusif, ternyata dia berpikiran
lebih luas, tidak menyekat dirinya, terbuka dan toleran. Tokoh Widya yang
akhirnya bersuami, dan tetap menjalin persahabatan dengan Mark, membuka mataku
bahwa tidak ada yang salah dalam persahabatan. Karena aku yang mengaku toleran
saja, seringkali menganggap pertemanan terlalu dekat dengan lawan jenis harus dihindari karena mengkhawatirkan
hal-hal yang tidak diinginkan.
Meski niat awalku mencari inspirasi bagi kelanjutan
novelku belum kuperoleh langsung begitu saja setelah membaca kumcer itu, tapi kurasakan
serapan energi dan serangkaian motivasi inspirasi dalam langkah kehidupanku.
Aku jadi lebih sering melirik Asma Nadia, meski sudah lama menjadi fans
page-nya dan juga ada di friendlist nya.
She’s
more than I tough. Tidak saja
mengobarkan apiku untuk melanjutkan penaku menari-nari, tetapi juga menyiramkan
bensin bagi mimpiku yang baru. Self
publishing. Asma Nadia Publishing House
yang dikembangkannya sendiri menjadi inspirasi bagiku untuk akhirnya mantap
mewujudkan mimpi yang lama terpendam. Kecintaanku pada buku dan keterpaksaan
dalam jepitan ekonomi yang mengharuskanku bergerak maju.
Leutika-lah
sebenarnya yang menemukan (kembali) bakatku
dalam menulis. Karena itu, pada mulanya aku ragu untuk menerbitkan sendiri meskipun aku sudah
memimpikannya sejak lama. Tapi aku belajar dari Asma Nadia, dia merintis ANPH
(Asma Nadia Publishing House) setelah lama bergabung dengan Lingkar Pena
Publishing House (yang kini dipegang Helvy Tiana Rosa-kakaknya yang juga
penulis). Aku membacanya seperti ini, merintis usaha sendiri bukanlah pengkhianatan.
Ini adalah eskalasi, pengembangan.Pernah dengar ini kan? Orang sukses adalah yang
melahirkan dan membantu kelahiran orang-orang sukses baru.
She’s more than I tough. Berasal dari keluarga yang
sangat sederhana, kakak beradik penulis ini kini juga telah melahirkan keluarga
penulis. Subhanallah. Kiprahnya bahkan lintas negara, memantapkan langkahku
untuk melakukan lompatan ini. Menyediakan waktuku lebih banyak untuk menulis
dan menerbitkan buku dibanding aktifitasku sebelumnya sebagai arsitek.
Aneh kan? Iya, pada
mulanya aku ragu juga. Namun cinta..cinta..apa saja untuk cinta. Aku mencintai
dunia baru ini. Semoga berkah, aamiin.
***
“Jadi gimana Fin?”, tanya partner menulisku. Aku sedang
di Gramedia, dan dia di seberang telpon memberikanku beberapa referensi buku
untuk kubaca.
“Hmm…gimana
ya? Aku lebih suka Negeri 5 Menara dan Muhammad Lelaki Penggenggam Hujan”, aku
menimbang – nimbang dan akhirnya mengambil pilihan.
“Kamu
sukanya baca yang gitu-gitu sih…”, suaranya kelihatan tidak suka.
Dia
lebih suka aku baca bacaan yang ‘menyerempet bahaya’, dia bilang bagus karena
alurnya tidak linier meskipun aku melihatnya sebagai bacaan yang bisa merusak
otak dan kepribadian.
Aku
jadi teringat Asma Nadia. Dia memang sosok yang patut dicontoh. Dia tidak hanya
menulis tetapi juga berdakwah. Dan istiqomah. Satu hal yang tidak mudah karena
ada banyak bujukan dan pengaruh di luar sana yang bisa menggerus kekokohan
diri. Seringkali keinginan bisa bebas dan bisa diterima semua kalangan akhirnya
menjadikan diri permisif dan kurang filter. Dan Asma Nadia menunjukkan jati
dirinya dengan ‘gentle’ dan anggun. Dan dia tetap eksis bahkan semakin berkibar.
“Kamu
serap cara penulisannya saja yang tidak linier, Fin”, partner menulisku
sepertinya membaca pikiranku.
“Kalau
sudah mahir, kamu bisa menulis apa saja. Dengan misi-misi dakwah juga, tetapi
dengan cara penulisan yang memukau dan tidak biasa. Sehingga ada sesuatu yang
bisa ditawarkan lebih dari penulis lainnya”, sambungnya.
Hmmm…boleh
juga idenya.
Anyway,
kapan-kapan aku akan mencari tulisan Asma Nadia yang tidak linier dan mau
kutunjukkan ke partner menulisku, nih lihat, penulis muslimah juga bisa dengan
muatan yang tetap terjamin mutunya. Aku yakin dia punya.
Karena
she’s more than I tough. Tidak hanya seorang penulis, Asma Nadia telah
menginspirasi banyak orang dengan tulisan dan kiprahnya. Beberapa bukunya
bahkan sudah disadur ke dalam film layar lebar. Prestasi yang luar biasa dan
semakin membuatku membara dalam dunia kepenulisan dan penerbitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar