THREE MUSKETERS
By Fidianna
Tiga tahun ini kami
bertiga melalui hari-hari tanpa suami dan ayah.
Berat? Tidak juga
sebenarnya. Mungkin sebenarnya berat tapi aku dan anak-anakku melaluinya dengan
hati lapang. Mereka berdua, Hasan dan Fatimah yang berusia enam dan empat tahun
can entertain themselves, sama
mudahnya dengan diriku. Hidup dibawa enjoy dan have fun.
Kantor konsultan
arsitek dan kontraktor yang dulu kurintis dengan almarhum suami terpaksa
kutinggalkan karena aku dan kedua anakku ditarik pulang ke rumah ibu. Sejak
itulah perjalanan terasa agak berat. Tinggal di kota kecil, tidak memungkinkan
karir arsitekku berkembang.
Dua tahun pertama aku
memaksakan diri untuk tetap berkutat di bidangku, membuka lahan property baru
di Semarang bersama kawan dan tim. Waktuku tersita banyak di perjalanan dan
juga pekerjaan. Kadang –kadang jika sedang tidak punya pembantu, aku terpaksa
menitipkan mereka ke rumah bulikku, karena ibuku sendiri juga masih aktif
bekerja sebagai PNS. Beliau berangkat pagi-pagi sekali sekitar jam enam dan
pulang jam enam sore karena kantornya berada di luar kota.
Kasihan sekali
anak-anakku. Bahkan waktu kami masih tinggal di Semarang, kami bertiga seperti
three musketeers karena selalu bepergian bertiga sejak ayah mereka wafat dalam
kecelakaan lalu lintas. Tapi sejak
tinggal di Demak dan aku harus nglajo kerja ke Semarang, tak pernah lagi kami
punya waktu jalan-jalan. Lama kelamaan, aku berpikir jika aku terus memaksa
untuk nglajo ke Semarang, kasihan anak-anakku yang hanya mendapatiku pulang
dalam keadaan letih dan karenanya mudah marah.
Akhirnya kuputuskan
resign dan mengisi kekosongan waktu dengan menulis. Hobi lamaku yang tumbuh
kembali dan akhirnya malah merajai hari-hariku.
Mencintai buku sejak
masih balita-sebab ayahku selalu membawakan banyak buku dan bacaan ke rumah- ternyata
tak pernah pupus. Menulis diary seperti yang diajarkan ayahku sejak aku duduk
di kelas 1 SD- ternyata menjadi ajang pembelajaranku untuk menulis hal-hal lainnya
di kemudian hari. Bakat menulisku ini ditemukan pertamakalinya oleh guru
bahasaku di SD, beliau mendorongku untuk mengikuti berbagai lomba resensi dan
lomba menulis. Guru Bahasaku di SMP dan SMA juga demikian. Hanya saja karena salah kaprah pada masa itu,
hanya perkuliahan eksakta saja yang dianggap keren, kemudian aku memilih teknik
arsitektur sebagai pilihan studiku. Yang aneh tapi nyata, aku kadang membawa
sekeranjang buku-buku bacaanku (diluar bacaan arsitektur) ke kampus seperti
perpustakaan keliling. Aku juga gemar sekali datang ke pameran dan bazaar buku
serta menghabiskan banyak rupiah di sana.
Dan ternyata takdir berbicara, Pertama kali memenangkan
lomba menulis pada event ulang tahun sebuah penerbit. Buku Titik Balik yang
keren dan inspiratif menempatkanku di peringkat dua. Menang lagi saat menulis
slogan untuk imprint penerbit bagi pembaca kalangan remaja. Ketika menang
kembali untuk audisi penulis Crazmo, adik laki-lakiku menantangku.
“Ayo,mbak. Ikut lomba
lagi. Yang ketiga menang lagi supaya bisa triple”, selorohnya dengan tertawa
khasnya. Seperti tertantang, aku jadi semakin tak pernah melewatkan event dan
lomba.
Dan Alhamdulillah, buku
Setan 911 bahkan menempatkan namaku di cover depannya. Adik iparku kini yang
berseloroh, “DianNafi siapa tuh? Arsitek nyasar ke sastra”. Begitulah. Dan aku
menerimanya dengan senang hati. Apalagi kemudian kuketahui melalui facebook,
ada beberapa arsitek juga yang suka menulis note, cerpen dan juga puisi. Aku
tidak sendirian.
Beberapa kali
memenangkan lomba menulis, tak terasa aku sudah memiliki 17 buku antologi. Alhamdulillah
wa syukurillah. Sebuah pencapaian-bahkan bukan di bidangku sesungguhnya- yang
sangat mengejutkan bagiku dan teman serta saudaraku.
Menulis ternyata tak
hanya menjadi sarana exhausting atau
pelepasan karena mengeluarkan rasa, duka
dan juga luka. Namun juga membangkitkan energi positif yang tidak hanya
membangun dan mengembangkan diri, namun juga menginpirasi orang lain bahkan
banyak orang.
Ketika kemudian aku
mendapat karuniaNya dengan sebuah kesempatan menulis novel dengan seorang
sahabat maya, sebuah cita-cita lama kembali muncul. Semenjak SMP sampai dengan
lulus kuliah, aku selalu ingin punya toko buku. Sederhana saja alasannya, karena dengan memiliki toko buku, aku bisa
membaca buku dengan gratis. Cita-citaku ini belakangan bergeser dari sekedar
ingin memiliki toko buku menjadi ingin mewujud sebagai penerbit. Utamanya
adalah menerbitkan karya-karya sendiri. Jika kemudian, ada banyak karya penulis
lain yang kami terbitkan, itu semata-mata anugerah dan karuniaNya.
Aku
mengerjakan semuanya dari rumah sambil
bermain bersama anak-anakku. Hal yang tak terbayangkan sebelumnya. Meski
kemudian dengan beban baru ini aku menjadi semakin sibuk, tetapi aku lega
karena masih bisa berkarya tanpa harus jauh meninggalkan rumah. Mereka juga
semakin faham jika aku harus berbagi waktu dan perhatian agar tugas menjadi ibu
dan juga ‘ayah’ yang mencari nafkah ini harus berjalan seimbang. Bahkan mereka
juga membuat buku mereka sendiri karena mungkin terinspirasi dari aktifitas
yang aku lakukan setengah tahun belakangan ini.
Si sulung membuat
gambar-gambar komik dalam buku tulis kosong yang disertai dialog dan cerita
serta narasi singkat. Dan si bungsu juga membuat gambar sederhana dengan
tulisan huruf-huruf yang ia tahu meski kadang tak terbaca. Terkadang ia meminta
tolong aku atau kakaknya untuk menuliskan kalimat-kalimat yang ia diktekan.
Genitnya, kadang-kadang si bungsu menggodaku,
“Mau ditandatangani
mbak bukunya?”, tanyanya sambil berpura-pura hendak menandatangani bukunya
seolah-olah dia seorang penulis ternama yang bertemu penggemarnya.
Alamaaaak…anakkuuuu…..
Bagian
terbaiknya adalah three musketeers ini
kembali beraksi karena memiliki lebih banyak waktu untuk bersama –sama. We’re
happy and that’s more than everything we need.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar