Sabtu, 11 Agustus 2012

Three Musketers


THREE MUSKETERS
By Fidianna


Tiga tahun ini kami bertiga melalui hari-hari tanpa suami dan ayah.
Berat? Tidak juga sebenarnya. Mungkin sebenarnya berat tapi aku dan anak-anakku melaluinya dengan hati lapang. Mereka berdua, Hasan dan Fatimah yang berusia enam dan empat tahun can entertain themselves, sama mudahnya dengan diriku. Hidup dibawa enjoy dan have fun.
Kantor konsultan arsitek dan kontraktor yang dulu kurintis dengan almarhum suami terpaksa kutinggalkan karena aku dan kedua anakku ditarik pulang ke rumah ibu. Sejak itulah perjalanan terasa agak berat. Tinggal di kota kecil, tidak memungkinkan karir arsitekku berkembang.
Dua tahun pertama aku memaksakan diri untuk tetap berkutat di bidangku, membuka lahan property baru di Semarang bersama kawan dan tim. Waktuku tersita banyak di perjalanan dan juga pekerjaan. Kadang –kadang jika sedang tidak punya pembantu, aku terpaksa menitipkan mereka ke rumah bulikku, karena ibuku sendiri juga masih aktif bekerja sebagai PNS. Beliau berangkat pagi-pagi sekali sekitar jam enam dan pulang jam enam sore karena kantornya berada di luar kota.
Kasihan sekali anak-anakku. Bahkan waktu kami masih tinggal di Semarang, kami bertiga seperti three musketeers karena selalu bepergian bertiga sejak ayah mereka wafat dalam kecelakaan lalu lintas.  Tapi sejak tinggal di Demak dan aku harus nglajo kerja ke Semarang, tak pernah lagi kami punya waktu jalan-jalan. Lama kelamaan, aku berpikir jika aku terus memaksa untuk nglajo ke Semarang, kasihan anak-anakku yang hanya mendapatiku pulang dalam keadaan letih dan karenanya mudah marah.
Akhirnya kuputuskan resign dan mengisi kekosongan waktu dengan menulis. Hobi lamaku yang tumbuh kembali dan akhirnya malah merajai hari-hariku.
Mencintai buku sejak masih balita-sebab ayahku selalu membawakan banyak buku dan bacaan ke rumah- ternyata tak pernah pupus. Menulis diary seperti yang diajarkan ayahku sejak aku duduk di kelas 1 SD- ternyata menjadi ajang pembelajaranku untuk menulis hal-hal lainnya di kemudian hari. Bakat menulisku ini ditemukan pertamakalinya oleh guru bahasaku di SD, beliau mendorongku untuk mengikuti berbagai lomba resensi dan lomba menulis. Guru Bahasaku di SMP dan SMA juga demikian.  Hanya saja karena salah kaprah pada masa itu, hanya perkuliahan eksakta saja yang dianggap keren, kemudian aku memilih teknik arsitektur sebagai pilihan studiku. Yang aneh tapi nyata, aku kadang membawa sekeranjang buku-buku bacaanku (diluar bacaan arsitektur) ke kampus seperti perpustakaan keliling. Aku juga gemar sekali datang ke pameran dan bazaar buku serta menghabiskan banyak rupiah di sana.
Dan ternyata  takdir berbicara, Pertama kali memenangkan lomba menulis pada event ulang tahun sebuah penerbit. Buku Titik Balik yang keren dan inspiratif menempatkanku di peringkat dua. Menang lagi saat menulis slogan untuk imprint penerbit bagi pembaca kalangan remaja. Ketika menang kembali untuk audisi penulis Crazmo, adik laki-lakiku menantangku.
“Ayo,mbak. Ikut lomba lagi. Yang ketiga menang lagi supaya bisa triple”, selorohnya dengan tertawa khasnya. Seperti tertantang, aku jadi semakin tak pernah melewatkan event dan lomba.
Dan Alhamdulillah, buku Setan 911 bahkan menempatkan namaku di cover depannya. Adik iparku kini yang berseloroh, “DianNafi siapa tuh? Arsitek nyasar ke sastra”. Begitulah. Dan aku menerimanya dengan senang hati. Apalagi kemudian kuketahui melalui facebook, ada beberapa arsitek juga yang suka menulis note, cerpen dan juga puisi. Aku tidak sendirian.
Beberapa kali memenangkan lomba menulis, tak terasa aku sudah memiliki 17 buku antologi. Alhamdulillah wa syukurillah. Sebuah pencapaian-bahkan bukan di bidangku sesungguhnya- yang sangat mengejutkan bagiku dan teman serta saudaraku.
Menulis ternyata tak hanya menjadi sarana exhausting atau pelepasan karena  mengeluarkan rasa, duka dan juga luka. Namun juga membangkitkan energi positif yang tidak hanya membangun dan mengembangkan diri, namun juga menginpirasi orang lain bahkan banyak orang.
Ketika kemudian aku mendapat karuniaNya dengan sebuah kesempatan menulis novel dengan seorang sahabat maya, sebuah cita-cita lama kembali muncul. Semenjak SMP sampai dengan lulus kuliah, aku selalu ingin punya toko buku. Sederhana saja alasannya,  karena dengan memiliki toko buku, aku bisa membaca buku dengan gratis. Cita-citaku ini belakangan bergeser dari sekedar ingin memiliki toko buku menjadi ingin mewujud sebagai penerbit. Utamanya adalah menerbitkan karya-karya sendiri. Jika kemudian, ada banyak karya penulis lain yang kami terbitkan, itu semata-mata anugerah dan karuniaNya.
            Aku mengerjakan semuanya dari rumah  sambil bermain bersama anak-anakku. Hal yang tak terbayangkan sebelumnya. Meski kemudian dengan beban baru ini aku menjadi semakin sibuk, tetapi aku lega karena masih bisa berkarya tanpa harus jauh meninggalkan rumah. Mereka juga semakin faham jika aku harus berbagi waktu dan perhatian agar tugas menjadi ibu dan juga ‘ayah’ yang mencari nafkah ini harus berjalan seimbang. Bahkan mereka juga membuat buku mereka sendiri karena mungkin terinspirasi dari aktifitas yang aku lakukan setengah tahun belakangan ini.
Si sulung membuat gambar-gambar komik dalam buku tulis kosong yang disertai dialog dan cerita serta narasi singkat. Dan si bungsu juga membuat gambar sederhana dengan tulisan huruf-huruf yang ia tahu meski kadang tak terbaca. Terkadang ia meminta tolong aku atau kakaknya untuk menuliskan kalimat-kalimat yang ia diktekan. Genitnya, kadang-kadang si bungsu menggodaku,
“Mau ditandatangani mbak bukunya?”, tanyanya sambil berpura-pura hendak menandatangani bukunya seolah-olah dia seorang penulis ternama yang bertemu penggemarnya. Alamaaaak…anakkuuuu…..

            Bagian terbaiknya adalah  three musketeers ini kembali beraksi karena memiliki lebih banyak waktu untuk bersama –sama. We’re happy and that’s more than everything we need. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar