Resensi Buku 12 Menit
JANGAN BERHENTI SEBELUM
MATI
By Dian Nafi
Yang menyentuh hati saya
saat pertama kali memegang buku ini adalah untaian kalimat tulisan tangan
penulisnya yang ditulis khusus untuk saya.
For one of the strongest mom alive, the
world goes around because of strong moms like you. Belum-belum saya sudah
menangis duluan.
Saat kemudian saya
membaca keseluruhan novel dan tak henti-hentinya menangis, saya tahu bahwa
kekuatan novel ini adalah kepekaan emosi penulisnya, Oka Aurora. Kepekaan itulah
yang membuatnya menuliskan sebegitu detail dan kuat penokohan, setting maupun
plotnya. Banyak kalimatnya juga begitu indah dan menyentuh. Yang menjadikannya
komplit adalah buku ini tidak saja menggugah emosi terdalam kita, tetapi juga
mencerahkan dan menginspirasi. Bahwa jika kita berpikir menang, maka kita akan
menang.
Kalau diharuskan
memilih bagian favorit dari buku ini, agak susah ya. Karena hampir semua
bagiannya bagus.
Covernya manis. Dengan
berbagai elemennya menggambarkan tiga tokoh utama di dalamnya. Elaine si anak
pindahan dari Jakarta dengan topi mayorette-nya (istilah yang lebih umum
dikenal bagi field commander). Tara yang kurang pendengaran dengan stick
drumnya. Lahang si anak Dayak dengan aksesoris Color guards-nya.
Cara tutur Oka
menjadikan novel ini seperti film sejak mula. Mungkin karena Oka berangkat dari
karirnya sebagai seorang penulis skenario. Pembaca dibuat mengalir bersama
ceritanya. Menikmati adegan-adegan dan settingnya yang hidup.
Saya menandai beberapa
quote yang ada di banyak tempat. Seperti pesan ayahnya Lahang yang pemuka Dayak
pada anak tunggalnya: Jika kamu ingin tahu seberapa tinggi kamu bisa terbang,
terbanglah.
Cara Oka menyampaikan
pesan ini dengan menjadikan burung elang sebagai majas, sejak dari awal sampai
akhir ketika sang ayah akhirnya meninggal, menjadikannya bukan sekedar
tempelan. Tetapi sebuah cerita menyeluruh yang dirancang dengan baik.
Pun demikian dengan
gimmick-gimmick lain macam stick drum milik Tara dan kaos tangan milik Elaine. Semua
bagian dalam cerita ini ada dengan sebuah skenario, kesengajaan. Tetapi dikelupas
satu persatu secara perlahan dan alasan yang kuat. Termasuk hubungan Rene, sang
pelatih dengan Bimo, sang manajer yang ternyata punya masa lalu bersama.
Yang juga menjadikan membaca
buku ini begitu mengharu biru seperti warna covernya adalah kematian. Kematian ayah
Tara dalam kecelakaan. Menjadikan saya begitu terhubung. Karena menggugah
kembali pedih saat kematian dalam kecelakaan yang merenggut ayah dari anak-anak
saya. Kematian ayahnya Lahang tanpa kehadirannya di sisi sang ayah, persis
seperti saya juga tidak berada di sisi suami saat beliau meregang nyawa karena
meninggal seketika.
Tetapi kami semua, pembaca
yang pernah kehilangan, pastilah tergugah dengan pesan Oka yang dia titipkan
lewat kalimat ayahnya Lahang pada anak lelakinya itu: Berdamailah dengan
takdir. Karena dengan cara itu kau bisa melanjutkan hidup (halaman 296)
Kalau boleh saya ingin melihat
dari sudut pandang lain, di samping bahwa buku ini benar mengajarkan dreaming
is believing seperti yang penulis dan penerbitnya ‘branding’kan. Kematian
orang-orang terdekat kita seringkali diikuti
dengan trauma, rasa bersalah, lemas, jiwa kita yang turut mati bersama
kematiannya, kehilangan daya dan semangat melanjutkan kehidupan. Kisah Tara dan
Lahang terutama, juga kisah flash back Bimo yang sempat diulas sedikit di
bagian belakang, mengandung hikmah yang patut kita petik. Kematian itu pasti
terjadi. Bagi yang hidup, yang ditinggalkan, teruslah move on. Bergerak. Berbuat.
Berkarya. Berprestasi. Jangan jadikan kesedihan, trauma maupun rasa bersalah
itu sebagai penghalang untuk terus terbang.
Tak sabar rasanya untuk
bisa segera menonton versi film-nya. Novel dan film 12 menit bisa menjadi bacaan
dan tontonan yang menggugah dan menginspirasi pembaca dan penonton dari segala
usia.
Judul
:
12 Menit
Penulis :
Oka Aurora
Penerbit
: Noura
Books
Cetakan :
I, Mei 2013
Jumlah Halaman
: 343 halaman
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Resensi Novel 12 Menit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar