*Bayar utang dulu…
Maksudnya tulisan ini adalah sebuah payment pada hutang yang tertunda bayar pada si empunya buku. Hehehe.
Sudah hampir seminggu lebih temu wicara dengan Dian Nafi berlangsung di Buka Buka Buku. Penulis asal Demak yang SANGAT produktif ini merilis buku terbarunya. Setidaknya sampai saat ini, karena tak lama lagi buku baru lainnya akan ada di toko-toko buku di Indonesia.
Just In Love, begitu judulnya. Simpel, dan merangkum hampir semua jalan cerita yang ada di novel ini. Kisah cinta, apalagi kalau bukan itu. Sampai kapan juga tak akan pernah habis dieksploitasi, dengan sudut pandang yang berbeda. Dan masih akan tetap menarik untuk dinikmati.
Tak perlu panjang lebar cerita soal kisah cinta tokoh utamanya Kemala, yang merupakan seorang mahasiswa desain interior. Pergi dari ibu kota menuju Klaten, untuk magang di sebuah butik yang perlu panataan ulang, tak hanya pengalaman kerja yang didapat selama kurang lebih seminggu disana, tapi juga jatuh cinta dengan seorang pria bernama Yudhistira.
Kemala yang berselera tinggi dan pantang jatuh cinta dengan pria yang tak sesuai dengan kriterianya, harus takluk dengan pria yang mencuri hatinya sejak pertama kali bertemu. Melawan standarnya sendiri, Kemala harus mengakui bahwa Yudhistira memang punya pesona. Sayangnya, tak hanya harga dirinya sebagai Kemala saja yang harus diatasi, tapi kehadiran sosok Vanisha menjadi penghalang antara dia dan Yudhistira. Seperti biasa, kehadiran orang ketiga dalam sebuah hubungan memang selalu jadi sesuatu yang seru. Pemicu konflik agar lebih menarik. Tapi tentu saja, semua orang tahu, kebanyakan karakter ketiga seperti ini selalu berakhir dengan status sebagai pecundang.
Meski tak selalu berjalan mulus (tapi disitulah serunya), hubungan Kemala dan Yudhistira sudah bisa dipastikan akan baik-baik saja. Mungkin beberapa orang akan menebak bahwa keduanya bisa berakhir bahagia sebagai pasangan, tapi sepertinya Dian Nafi cukup pintar untuk tak terjebak pada ending yang sudah umum. Happily-ever-after, begitulah umumnya kisah tentang putri dan pangeran. Tapi ending yang dipilih tampaknya memang seperti sebuah skrip di film-film. Terbuka untuk sekuel. Nggantung.
Oke, berikut adalah catatan tentang Just In Love (menurut hemat saya)
1. Pace ceritanya cukup cepat. Dalam satu babak, Dian Nafi menggunakan banyak fragmen. Dan sebagai pembaca, kita seperti sedang menonton sebuah film yang berjalan cepat dari satu adegan ke adegan lainnya.
2. Bisa dibilang gaya penulisan Dian Nafi di Just In Love tidak monoton. Dalam satu kesempatan, Dian Menggunakan gaya “Karakter A & Karakter B” kemudian “Karakter C dan Karakter D” lalu “Karakter A dan Karakter C”. Bisa jadi ini trik si penulis untuk menghindari kebuntuan dalam mengembangkan cerita. Seperti yang dia bilang, kalau kelamaan menceritakan sebuah adegan, yang ada hanya bosan. Atau bisa jadi, Dian hanya terinspirasi dari apa yang pernah dilakukan Dewi “Dee” Lestari dalam buku-bukunya, karena si Penulis sepertinya ngefans banget sama Dee.
(btw, saya juga lebih seneng pake gaya seperti itu. Lebih simpel, lebih fokus dalam penceritaan sebuah adegan)
3. Well, kalau mau bilang ini adalah sebuah kisah cinta yang dewasa, sebenarnya tidak juga. Sudah keliatan dari pemilihan desain cover buku. Nuansa anak muda masih terasa. Jadi, ini bukan kisah cinta orang kantoran, tapi masih “bau” anak kuliahan.
4. Si penulis bilang dalam sesi interview kalau Just In Love ini dibuat dengan berbagai usaha untuk tidak terlalu dramatis dan sinetron abis, tapi sepertinya saya sedang membaca sebuah naskah yang “movie wannabe” banget. Bahkan sudah kebayang siapa yang bakal jadi Yudhistira. Jangan sampai deh Adipati Dolken yang akan berperan sebagai Yudhistira. Karena dengan rambut panjang ikalnya, sepertinya Yudhistira cocok diperankan oleh dia..hehehe.
5. Tenang saja, novel ini bukan novel yang temanya relijius banget. Walaupun sepertinya di beberapa bagian ada hawa-hawa cerita cinta relijius melalui pemilihan katanya, tapi si penulis sepertinya tidak ingin membawa Just In Love ke genre itu.
Terus terang, saya tidak bisa memberikan penilaian apakah suatu karya tulis itu bagus atau tidak. Karena bagaimanapun juga hal seperti itu relatif. Ya sih, karena sifatnya relatif, saya berhak memberikan penilaian sebagai pembaca. Tapi nggak lah, saya tidak mau bikin note berdasarkan kelebihan dan kekurangan sebuah karya. Semuanya saya serahkan ke pembaca lainnya saja.
Yang pasti, sebagai “pembunuh waktu” buku ini termasuk yang tidak akan butuh waktu lama untuk diselesaikan.
Selamat membaca!
*gambar dari Goodreads. Terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar